Premanisme Berkedok Ormas Ancam Bali: Pecalang Tegas Menolak
Bali selama ini dikenal sebagai pulau yang menjunjung tinggi nilai adat, budaya, dan spiritualitas. Harmoni yang terjalin antara masyarakat, alam, dan tradisi telah menjadi magnet pariwisata dan sumber kebanggaan masyarakat lokal. Namun, belakangan ini muncul kekhawatiran serius: ancaman premanisme yang berlindung di balik atribut organisasi masyarakat (ormas).
Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat adat dan tokoh-tokoh lokal Bali mulai menyoroti gerakan tertentu yang mengatasnamakan ormas namun bertindak sewenang-wenang. Mereka bukan hadir sebagai penjaga nilai, melainkan justru menjadi pemicu keresahan melalui tindakan intimidatif, pemerasan, dan pemaksaan kehendak di ruang publik.
Pecalang Bicara: Adat Bukan Topeng Kekuasaan
Di tengah ancaman tersebut, pecalang, sebagai petugas keamanan adat Bali, menyatakan sikap tegas. Mereka menolak segala bentuk premanisme, apalagi jika dibungkus dengan simbol-simbol ormas yang tidak berakar dari nilai-nilai Bali.
“Kami menjaga adat, bukan untuk dijadikan alat menakut-nakuti masyarakat. Jika ada yang mengaku bagian dari ormas tapi bertindak seperti preman, itu bukan bagian dari kami,” ujar I Wayan Sutirta, salah satu pecalang senior di Kabupaten Gianyar.
Menurutnya, keberadaan pecalang justru berfungsi untuk menciptakan rasa aman dan damai, terutama dalam acara keagamaan dan kegiatan masyarakat adat. Bukan untuk unjuk kekuatan atau menunjukkan dominasi.
Ormas Bermasalah Menggerus Kepercayaan Sosial
Fenomena ormas bermasalah yang menyusup ke berbagai wilayah di Indonesia tidak lagi menjadi rahasia. Di Bali, dampaknya terasa semakin nyata seiring meningkatnya laporan warga tentang aktivitas kelompok yang memaksakan “keamanan berbayar” kepada pengusaha lokal, mengambil alih lahan tanpa dasar hukum jelas, hingga menekan komunitas tertentu.
Modusnya adalah menyelipkan aksi premanisme dalam agenda ormas sosial atau keagamaan. Dalam beberapa kasus, kelompok ini bahkan mengklaim “wewenang adat” meskipun tidak memiliki akar budaya di Bali.
Ini tentu menjadi ancaman ganda: keresahan sosial dan kerusakan citra budaya Bali yang selama ini dikenal toleran, damai, dan terbuka.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Adat
Melihat fenomena ini, berbagai tokoh adat, organisasi keagamaan Hindu, dan unsur pemerintah daerah bersatu suara. Mereka menyerukan perlunya pengawasan ketat terhadap aktivitas ormas di Bali, termasuk verifikasi legalitas, kepatuhan terhadap nilai lokal, serta keterlibatan tokoh adat dalam proses pemantauan.
Bahkan, sejumlah desa adat mulai menyusun Perarem (aturan adat lokal) yang melarang aktivitas ormas eksternal yang tidak mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat. Ini adalah bentuk ketegasan sekaligus kearifan lokal dalam menjaga kedaulatan budaya Bali.
Harmoni Bali, Tanggung Jawab Bersama
Lebih dari sekadar konflik antara ormas dan adat, kasus ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana budaya bisa terancam oleh kepentingan yang disamarkan. Pecalang dan masyarakat adat kini menjadi garda terdepan yang bukan hanya menjaga upacara keagamaan, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai moral dari infiltrasi kekuatan destruktif.
Premanisme dalam balutan ormas adalah wajah baru dari ancaman sosial yang tidak boleh dibiarkan tumbuh di Bali. Ketegasan pecalang menjadi simbol bahwa keamanan dan adat bukan alat intimidasi, melainkan benteng harmoni dan martabat budaya. Saatnya seluruh elemen masyarakat Bali bersatu untuk menjaga tanah suci ini dari infiltrasi kekuasaan yang merusak, walau tersembunyi dalam jubah ormas.