Buronan Politik Uang: 6 Kades Gorontalo Diduga Terlibat Praktik Curang Pemilu
Dunia politik tanah air kembali diguncang oleh skandal baru yang mencoreng integritas proses demokrasi. Di Gorontalo, enam kepala desa (kades) kini masuk dalam daftar buronan aparat penegak hukum setelah diduga kuat terlibat dalam praktik politik uang atau money politics pada pelaksanaan pemilu terakhir. Kasus ini menjadi perhatian serius publik dan mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan pemilu yang bersih dan adil.
Modus Operandi yang Terorganisir
Menurut keterangan pihak kepolisian dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), keenam kades tersebut diduga menggunakan jabatannya untuk memengaruhi pilihan warga desa dengan cara menyebarkan uang dan bingkisan menjelang hari pemungutan suara. Uang tersebut disebut-sebut berasal dari salah satu kandidat legislatif yang memiliki kedekatan politik dengan para tersangka.
Lebih ironis lagi, aktivitas ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Para kades menyusupkan ajakan memilih calon tertentu dalam kegiatan desa seperti pembagian bantuan sosial atau rapat warga. Aksi ini jelas melanggar prinsip netralitas aparatur pemerintah, apalagi dilakukan oleh pemimpin desa yang seharusnya menjadi panutan masyarakat.
Melarikan Diri Usai Ditetapkan sebagai Tersangka
Keenam kepala desa tersebut diketahui menghilang dari wilayah tugasnya tak lama setelah penyelidikan resmi diumumkan. Upaya pemanggilan oleh kepolisian dan penyidik pemilu tidak diindahkan. Bahkan, beberapa di antaranya disebut telah berpindah-pindah tempat tinggal demi menghindari penangkapan.
Polisi kini telah memasukkan mereka dalam daftar pencarian orang (DPO) dan bekerja sama dengan aparat daerah hingga pusat untuk mempercepat proses penangkapan. “Ini adalah bentuk pelanggaran hukum serius, dan tidak ada tempat bagi pelaku politik uang di dalam demokrasi Indonesia,” tegas salah satu pejabat Polda Gorontalo.
Reaksi Warga dan Pengamat Politik
Skandal ini disambut geram oleh masyarakat setempat. Banyak warga merasa dikhianati oleh pemimpin desa mereka sendiri, yang selama ini dipercaya untuk menjaga kepentingan rakyat. Sebagian warga menyebut tindakan para kades itu sebagai bukti bahwa kekuasaan telah disalahgunakan demi kepentingan pribadi dan politik sesaat.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Negeri Gorontalo menyatakan bahwa kasus ini memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan di level akar rumput. “Kepala desa seharusnya netral. Keterlibatan mereka dalam politik praktis mengancam kualitas demokrasi lokal,” ujarnya.
Langkah Penegakan Hukum dan Harapan Bersihnya Demokrasi
Bawaslu dan kepolisian menegaskan komitmennya untuk menindak tegas pelaku politik uang, tanpa pandang bulu. Proses hukum akan terus berjalan, dan jika terbukti bersalah, keenam tersangka dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemilu serta sanksi administratif dan pidana, termasuk pencabutan hak politik dan hukuman penjara.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa pemilu bukan hanya soal memilih, tapi juga soal menjaga kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi. Harapannya, tindakan tegas terhadap kasus ini bisa menjadi efek jera bagi pihak-pihak lain yang berniat mencederai keadilan pemilu.
Keterlibatan enam kepala desa dalam praktik politik uang di Gorontalo membuka mata kita tentang masih rapuhnya integritas demokrasi di tingkat lokal. Peran serta masyarakat dalam mengawasi jalannya pemilu, serta keberanian aparat penegak hukum menindak pelanggaran, menjadi kunci utama dalam menyelamatkan masa depan demokrasi Indonesia.